CERPEN "Sebuah Kata Maaf"
Danang beranjak dari bangku taman sekolah. Sementara,siswa yang lain sedang menikmati jeda istirahat. Ia mematung sejenak dan sejurus kemudian memandang kearah Lusi yang sedang tertunduk. Angin semilir menyapa mereka. Rimbun pepohonan seakan berkata : “Waktu hanyalah dusta yang paling mendalam yang pernah kalian sembunyikan.”
Tidak lama, Danang kembali duduk disamping Lusi. Mendadak Lusi memindahkan arah pandangannya ke suatu titik dekat kantin sekolah. Seseorang yang berdiri di sana seakan tidak tahu bahwa ada sepasang mata Lusi menatapnya lekat.
Saat lama sekat bicara tak terdengar, dengan agak tersendat Danang bersuara,
“Lus,ehm…sendiri?”
Lusi sedikit terperanjat lalu mengarahkan matanya pada suara yang tiba-tiba menyembul di telinganya.
“Seperti yang kau tahu.”
Danang menghela nafas setelah Lusi menjawab pertanyaannnya. Lusi menatap gelas bekas jus jeruk yang sudah habis diteguknya. Lusi berubah. Lusi bukan yang dulu lagi. Sejenak pernyataan itu muncul di benak Danang. Sesaat kemudian Danang menyalahkan dirinya sendiri. Seandainya ia tidak melakukan hal itu 2 bulan lalu kepada Lusi, mungkin Lusi tidak akan bersikap seperti ini padanya.
Bel masuk berbunyi nyaring, Lusi langsung beranjak dari kursinya,tanpa berpamitan kepada Danang, ia hendak melenggang pergi begitu saja sebelum Danang memegang pergelangan tangan Lusi. Lusi menengok sebal kearah Danang. Danang memejamkan matanya beberapa saat dan sedetik berikutnya ia membuka mulutnya .
“Kau masih belum memaafkanku? Memaafkan semua hal yang telah terjadi 2 bulan lalu?”
Lusi terdiam, jujur ia sudah malas dengan Danang. Dengan semua apa yang dilakukan oleh Danang padanya 2 bulan lalu. Hal itu sudah cukup membuat Lusi hancur dan tidak mau berurusan dengan manusia seperti Danang. Meskipun begitu, Lusi tidak bisa memungkiri bahwa ia tidak bisa membuang perasaannya kepada Danang.
Lusi menghentakkan tangan Danang hingga membuat genggaman tangan Danang pada pergelangan tangan Lusi mengendur.
“Aku tidak mau membahasnya.”
Hanya itu yang diucapkan Lusi sebelum Lusi benar-benar pergi meninggalkan Danang yang terdiam dikurung rasa bersalahnya yang semakin membesar kepada Lusi.
***
Pelajaran Matematika terasa begitu memuakkan bagi Lusi. Jujur saja ia tidak memperhatikan apa yang gurunya sampaikan di depan kelas. Matanya hanya tertuju pada taman sekolah yang ia lihat dari jendela kelasnya . Seseorang dengan sebuah buku sedang duduk di bangku panjang di pinggiran kawasan taman sekolah. Rambutnya yang hitam bergerak lembut dengan arah datangnya angin. Wajahnya tampak serius membaca buku bersampul coklat yang dibawanya.
Berbeda lagi dengan Danang, ia tampak terus memperhatikan Lusi meskipun jarak bangku mereka lumayan jauh. Lusi ada di bangku barisan nomer empat paling pojok belakang dan Danang sendiri ada di bangku barisan nomer dua,nomer tiga dari depan . Yang Danang lihat, Lusi tidak henti-hentinya memandangi keluar jendela dan sama sekali tidak memperhatikan Bu.Ina yang sedang menjelaskan materi Logaritma di depan kelas.
Hingga pada akhirnya bel pulang berbunyi nyaring, semua siswa segera membereskan meja mereka masing-masing dan setelahnya mereka bubar sendiri-sendiri. Beda dengan Lusi yang tampak enggan beranjak dari tempat duduknya dan membuat Danang penasaran untuk menghampiri Lusi.
“Bel pulang sudah berbunyi.” Ucap Danang terdengar kaku.
Lusi hanya terdiam, lalu menatap Danang dingin “Aku tidak tuli.” Jawab Lusi ketus dan tetap enggan pergi dari tempat duduknya.
Danang menghela nafas lagi-lagi dengan jawaban Lusi. Ia memutar kepalanya melihat ke keluar jendela. Ia melihat satu-satunya orang yang duduk di bangku taman. Danang mengenalnya, itu Pandu. Jadi siapa yang dilihat Lusi sedari tadi adalah Pandu? Danang hanya tersenyum lalu meninggalkan Lusi sendiri di dalam kelas. Padahal apa yang dilihat Lusi bukanlah Pandu, dia hanya melihat pemandangan taman sekolah yang tampak hijau,bersih, dan menenangkan.
2 bulan lalu.
Lusi sangat senang. Wajahnya tampak berseri-seri. Danang, hari ini dia akan bertemu Danang di sebuah taman kota sesuai dengan tempat yang telah disiapkan oleh Danang untuk mengajak Lusi berjalan bersama. Perjuangan Lusi untuk mengenal Danang tidak sia-sia selama ini. Danang seorang kapten tim basket sekolah itu telah lama disukai oleh Lusi, sejak awal Lusi melihat Danang berlatih basket di lapangan sekolah sendirian. Peluh bercucuran di dahi Danang kala itu, dan Lusi hanya melihat dari kejauhan saat Danang melakukan aksi-aksi basketnya.
Danang mengajak Lusi jalan bersama hari ini. Danang menyuruh Lusi untuk menunggunya di taman kota. Alih-alih Lusi menunggu Danang dengan perasaan berbunga-bunga, sesuatu hal terjadi pada Danang. Pandu, sahabat Danang mengajak Danang untuk membeli sebuah bola basket di toko perlengkapan olahraga di tengah kota. Danang tidak bisa menolak ajakan Pandu, toh dia masih punya waktu setengah jam untuk mengantar Pandu lalu menemui Lusi di taman kota.
Awan mendung perlahan-lahan menyelimuti kota. Taman kota yang awalnya dipenuhi dengan pedagang asongan yang menggelar lapak sederhananya, perlahan-lahan mulai mengemasi lapaknya. Hujan akan turun, sudah hampir 2 jam Lusi menunggu di taman kota. Menunggu sesosok Danang datang di depannya. Hujan pun turun dengan derasnya. Perasaan Lusi langsung hancur begitu saja ketika ia menyadari bahwa Danang tidak akan datang dan menepati janjinya. Lusi berlari kecil dan berteduh di bawah sebuah pohon sambil mengusap-usap kedua telapak tangannya kedinginan. Titik-titik air hujan membasahi tubuhnya meskipun ia sudah berteduh di bawah pohon. Perlahan perasaannya semakin kalut, tidak terasa buliran air mata sudah jatuh di pipi Lusi bercampur dengan titik-titik air hujan yang menelusuri wajah cantiknya.
***
Kaki Danang terasa nyeri bukan main ketika ia harus berjalan sekitar 1kilometer dari sekolah menuju rumahnya. Sejak terjatuh 2 bulan lalu, Danang mengalami cedera yang cukup serius sehingga ia tidak diperbolehkan untuk bermain basket dan tidak bisa mengendarai motor gede kesayangannya itu untuk berangkat kesekolah. Yang ia lakukan ketika pulang sekolah adalah jalan kaki, lain cerita ketika ia berangkat sekolah ia di antar oleh ayahnya menggunakan mobil. Jika pulang sekolah mau tidak mau Danang harus berjalan karena kedua orangtuanya sibuk bekerja,hitung-hitung untuk melatih kekuatan kakinya agar dapat normal kembali.
“Kak Danang!”
Suara Sabrina terdengar dari kejauhan. Sabrina segera berlari menyusul kakaknya yang berjalan tertatih-tatih dan tampak kelalahan. Sabrina adalah adik perempuan Danang. Sabrina baru duduk di bangku SMP, setiap hari yang dilakukan Sabrina adalah menunggu Danang di gang dekat rumah mereka. Lalu Sabrina membantu Danang berjalan sampai kerumah bersama-sama.
“Bagaimana harimu tadi? Menyenangkan? Bagaiman pula dengan Kak Lusi?”
Pertanyaan itu muncul dari mulut Sabrina dengan cuma-cuma. Danang hanya tersenyum menanggapi celotehan adiknya yang cerewet itu.
“Bukan urusanmu,nona manis.”
Sabrina cemberut.
“Tentu saja itu urusanku! Aku suka melihat kau dengan Kak Lusi bersama lagi.”
Lagi-lagi Danang hanya tersenyum kepada adiknya lalu berjalan menuju rumahnya perlahan-lahan.
Sabrina terdiam dalam lamunnya, sesekali ia melihat kakaknya yang berulang kali menghembuskan nafas panjang. Apapun yang terjadi dengan Danang, Sabrina pasti tau. Dan dia tau apa yang terjadi sekarang, ia harus segera menyelesaikan masalah ini, membantu kakaknya yang tampak tidak bisa menyelesaikan masalahnya sendiri.
Sabrina menggamit jacketnya , sedetik kemudian jacket berwarna pink kesukaannya itu sudah melekat di tubuh mungilnya. Ia berjalan keluar tidak mempedulikan seruan kakaknya menyuruhnya untuk tetap di rumah.
***
Buku-buku Biologi di Perpustakaan tampak usang dan berdebu. Lusi adalah seorang anak penggila pelajaran Biologi. Seseorang menarik tangan Lusi dari belakang secara tiba-tiba membuat buku Biologi yang ada di tangan Lusi yang tebal terjatuh dan menimbulkan suara gedebum yang keras. Pandu. Pandulah yang marik tangan Lusi.
“Kita harus bicara,tapi tidak di sini.”
Dengan cepat Pandu menarik lengan Lusi menuju taman belakang sekolah. Lusi tampak marah awalnya karena Pandu membawa Lusi dengan cara yang tidak sopan menurutnya.
“Kukira kau sudah tau semuanya, tentang Danang. Tentang apa yang dilakukannya padamu 2 bulan lalu,sebenarnya ia tidak bermaksud seperti apa yang kau bayangkan.”
Lusi tampak bingung dengan apa yang di katakan Pandu padanya. Lusi sedikit naik pitam ketika ia mendengar Pandu mengucapkan kesalahan Danang 2 bulan lalu.
“Jika tentang Danang,langsung ke intinya saja.”
Pandu menarik nafas tampak kesal dengan gadis yang ada di hadapannya saat ini.
“Kau pasti tidak tau Danang sudah tidak diperbolehkan bermain basket lagi. Danang sudah tidak boleh mengendarai motor gede favoritnya itu. Danang sudah tidak boleh melakukan hal-hal yang berat sejak 2 bulan lalu setelah ia terjatuh saat ia meengendarai motor gedenya di tengah hujan dengan kecepatan tinggi untuk menemuimu. Menepati janjinya.”
Lusi semakin bingung. Pandu melanjutkan celotehannya. Pandu menjelaskan semuanya mulai dari ia mengajak Danang secara tiba-tiba saat Danang sudah berjanji akan menemui Lusi. Dan tiba-tiba Danang berpamitan untuk meninggalkan Pandu sendiri di toko perlengkapan olahraga karena ingin menemui Lusi di taman kota karena Danang tau hujan akan segera turun.
Dalam perjalanannya, kendaraan Danang tergelincir di tengah hujan deras dan membuat Danang di larikan ke rumah sakit karena cedera kakinya yang cukup parah. Pada saat Danang di rumah sakit,ada Pandu di sana membantu Danang. Pada saat itu Danang menyuruh Pandu menjemput Lusi di taman kota dan mengantar Lusi pulang. Ia menyuruh Pandu untuk mengatakan maaf kepada Lusi karena ia ada keperluan mendadak, dan Danang menyuruh Pandu untuk tidak menceritakan hal buruk yang menimpanya kepada Lusi. Ketika Pandu menjemput Lusi di taman kota, Lusi tidak ada, ia sudah pulang, dan sebagai sahabat Pandu tetap merahasiakan keadaan Danang dan apa yang terjadi dengan Danang demi kebaikan Lusi dan sahabatnya.
Lusi terdiam tampak tidak percaya, air mata sudah menggenang di pelupuk matanya. Pandu berjalan mendekati Lusi, merengkuh pundak Lusi mencoba menenangkan gadis itu. Perasaan bersalah menyelimuti hati Lusi kala ini. Ia merasa bersalah dengan sikapnya kepada Danang tanpa mempedulikan Dananglah yang sudah menderita.
Semuanya terjadi karena Sabrina. Gadis itu tampak susah melihat kakaknya yang lama kelamaan berubah hanya karena perasaan bersalah akan masalahnya yang tidak bisa Danang selesaikan sendiri. Kemarin Sabrina pergi ke rumah Pandu meminta bantuan Pandu untuk menjelaskan semuanya kepada Lusi demi kebaikan kakaknya dan Lusi. Dan akhirnya semuanya terjadi.
***
Lusi melihat Danang yang terdiam di lapangan basket sekolah. Mata Danang tertuju pada ring basket yang melekat pada sebuah tiang besi. Hujan tiba-tiba turun membasahi apapun yang ada di sekitar. Butiran air hujan membasahi seragam Danang dengan cepatnya. Air hujan yang mula-mula merembes pada permukaan kain seragam Danang, tiba-tiba tidak terasa lagi.Danang mengangkat kepalanya untuk melihat langit apakah hujan memang benar-benar berhenti. Sebuah payung telah melindungi tubuh Danang dari hujan, dan mata Danang tertuju pada seseorang yang membawa payung tersebut. Ia adalah Lusi. Lusi lah yang membawakan payung untuk Danang.
Lusi tersenyum melihat ekspresi Danang yang terkejut. Lusi mulai bersuara untuk yang pertama kalinya kepada Danang setelah 2 bulan yang terasa beberapa tahun bagi Danang.
“Berhentilah menyiksa dirimu sendiri, aku memaafkanmu. Bisakah kita memulai dari awal kembali dan melupakan apa yang telah berlalu?”
Danang menatap Lusi dengan pandangan berbinar-binar. Dan sebuah senyuman terukir di wajah Danang untuk pertama kalinya bagi Lusi.
“Ada yang ingin kutanyakan padamu.” Ucap Danang seraya beranjak dari kursi dan berdiri di hadapan Lusi. Lusi meneguk ludahnya sangat berat karena gugup.
“Tanyakan saja.”
“Saat di kantin…. apakah kau melihat.. Pandu? Dan saat pelajaran matematika ku lihat kau lagi-lagi melihatnya, kau….menyukai Pandu?”
Lusi sedikit terlonjak dengan pertanyaan Danang. Lusi menjatuhkan payung yang ada di tangan kanannya membuat tetesan air hujan mengguyur tubuh Lusi dan Danang dengan cepat. Lusi menggamit kedua tangan Danang dan tersenyum.
“Tidak,aku tidak menyukai Pandu. Kau benar di kantin aku memang melihat sosok Pandu tapi bukan Pandu lah yang kucari. Yang kucari adalah kau.Bukankah setiap ada Pandu pasti ada kau? Dan soal saat pelajaran matematika , kau salah lagi. Aku tidak melihat Pandu. Aku hanya suka pemandangan taman belakang yang bersih dan menenangkan.”
Bak api panas yang sedang membara tiba-tiba guyuran air es membuyarkan api itu. Itulah yang di rasakan Danang saat ini. Danang tersenyum puas, dan dengan cepat ia menarik Lusi dalam pelukannya. Tidak peduli dengan hujan yang begitu derasnya, dan awan mendung yang menyelimuti langit sore ini, nyatanya langit mendung dan air hujanlah yang menjadi saksi bisu antara Danang dan Lusi saat ini.
“Berjanjilah padaku, kau tetap di sini bersamaku, apapun yang terjadi.”
“Aku berjanji.” Jawab Lusi yakin.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar