Matahari bersinar sangat cerah pagi ini, bahkan cerah sinarnya hingga membuat kelopak mata Kelsie yang awalnya tertutup rapat menjadi sedikit begetar lalu sedetik berikutnya kedua matanya terbuka sempurna. Kelsie terdiam sejenak lalu ia menghembuskan nafasnya perlahan.
“Nathan,” desisnya pelan hampir tidak bersuara.
Sejurus kemudian ia meremas rambutnya sendiri dan sedikit menghentakkan kakinya di atas tempat tidurnya. Lalu ingatannya kembali pada sebuah mimpi di mana ia melihat Nathan dari bidikan kameranya yang sedang tersenyum manis menatap Kelsie yang terpaku dengan sosok yang dibidiknya itu sendiri.
Kelsie membuang muka ke arah jendela kamarnya, dan melihat Ibunya sedang menyirami koleksi bunga anggrek kesayangannya. Sedetik kemudian ia meraih jendela kamarnya dan mendorongnya pelan. Suara berderit dari jendela itu spontan membuat Ibunya menengok ke arah kamar Kelsie, dan Kelsie hanya menyambut dengan sebuah cengiran lebar.
“Selamat pagi..” sapanya dengan suara serak khas orang baru saja bangun tidur.
Sang Ibu yang bernama Grace itu tersenyum seraya menatap Kelsie dengan lembut, “Selamat pagi,Kelsie. Tumben sekali kau sudah bangun jam 7 pagi di hari Minggu?”
Kelsie menatap Ibunya jengah, “Apakah kau berusaha menyindirku,Ma? Ayolah seharusnya kau bersyukur karena aku bisa bangun sepagi ini di hari Minggu,”
Ibunya tersenyum, “Cepat angkat kakimu dan segeralah pergi ke kamar mandi. Kau harus membantu Mama hari ini,”
“Membantu apa? “
“Membantu Mama untuk mengantarkan kue pesanan Ibu temanmu di kompleks sebelah,”
Kelsie menelan ludahnya gugup, “Siapa? Kompleks sebelah? Apakah rumah Pak Alex?”
“Ya,” sahut Ibunya cepat,bahkan terlalu cepat, “Bukankah anak dari Pak Alex adalah temanmu? Kalau tidak salah namanya Nathan,”
Mendadak Kelsie merasakan jantungnya berdegup cepat. Mungkin ini terlalu berlebihan, namun pernahkah kau merasakan jatuh cinta diam-diam? Bahkan hanya mendengar namanya saja bisa menimbulkan reaksi defensif pada dirimu sendiri? Tiba-tiba jantungmu berdegup kencang tanpa sebab adalah salah satu contohnya.
“Dia bukan temanku, Ma. Kita berbeda kelas,” jawabku.
“Tapi dia satu sekolah denganmu bukan? Sudahlah cepat bangun dan segera antar kue itu ke rumah Pak Alex,”
Kelsie hanya bisa terdiam, jantungnya berdegup luar biasa kencang. Padahal, ia tidak tahu apa yang akan terjadi nantinya.
***
“Ma, mana kue yang harus kuantarkan?” tanyaku seraya melihat ada beberapa tumpukan kardus berisi kue-kue pesanan yang sudah siap antar.
“Kantong berwarna merah, sudah kusiapkan di dekat lemari es,” sahutnya dari kamar.
“Baiklah, aku berangkat,”
Sepeda fixie milik Mike, kakak laki-lakiku sengaja aku pakai untuk mengantar kue pesanan ke kompleks sebelah. Mike masih tidur tentu saja. Jika saja ia tahu aku menggunakan fixie kesayangannya yang diberi nama “Joni” ini tanpa meminta izin, dia pasti akan menyemburku dengan omelan-omelan khasnya. Dia sangat cerewet untuk ukuran seorang pria, dan ia memiliki sifat yang sangat terbuka pada semua orang dan sangat berbanding terbalik denganku yang lebih tertutup.
Dia tidak akan malu untuk menangis di hadapanku, di hadapan Ibuku, atau bahkan Ayahku sekalipun jika ia berada dalam sebuah masalah yang sangat berat. Kemarin malam saja Mike menumpahkan lagi air matanya di hadapan Ibu hanya karena Carina yang memutuskan hubungan mereka tanpa sebab. Apakah itu berlebihan untuk ukuran seorang pria menangis karena cinta? Kurasa tidak. Mike sangat mencintainya, mereka sudah hampir 6 tahun bersama-sama sejak mereka duduk di bangku SMA kelas 10. Dan tentu saja siapapun yang akan menjalani hubungan selama itu lalu tiba-tiba tanpa sebab hubungan itu harus berakhir pasti akan terasa sangat menyakitkan.
Aku mengambil sebuah karet rambut di saku belakang celanaku, lalu dengan cepat aku mengikat rambutku menjadi ikatan ekor kuda yang lumayan rapi menurutku. Kurapikan pakaianku dan kamera polaroid yang tergantung di leherku. Kamera polaroid ini adalah teman baikku. Aku akan selalu membawanya kemanapun aku pergi. Jika ada sesuatu yang menurutku menarik, dengan segera aku membidiknya lalu menempelkan hasil bidikanku pada sebuah mading kecil di kamarku.
Dengan cepat aku mengayuh “Joni” sekuat tenaga. Setidaknya agar aku segera tiba di tempat tujuan. 15 menit yang kutempuh dengan sepeda fixie ini cukup membuat keringat membanjiri tubuhku. Rumah dengan gerbang berwarna merah itu tampak sepi. Dengan segera aku menekan tombol bel rumah yang sudah tersedia. Dan beberapa menit berikutnya, seseorang muncul dibalik gerbang. Seseorang itu hanya memakai kaos tanpa lengan dengan celana basket. Ditambah lagi dengan rambutnya yang tampak berantakan. Dan dia adalah Nathan.
“Ya?” sahutnya seraya menatapku dengan pandangan yang sulit ditebak.
Aku terdiam mencoba mengatur kecepatan jantungku yang berdetak tidak karuan setelah mendapati Nathanlah yang menyambutku, “Ah..hm..hai,”
“Bodoh,” aku memekik dalam hati, “Apa yang kau lakukan, Kels.. cepat berikan kuenya,” alam sadarku berteriak kembali, seolah-olah mengirimkan sebuah sinyal agar segera ditangkap oleh otakku.
Nathan menatapku seraya mengernyitkan kedua alisnya yang tebal, “Ya..hai,” jawabnya tak kalah kikuk denganku. Ya Tuhan Kelsie apa yang kau lakukan.
“Ehm, ini Ibumu memesan kue pada Ibuku, dan ini pesanannya,” kuserahkan kantong berwarna merah itu padanya. Dan aku melihat ia tersenyum padaku. Jenis senyuman yang sama kulihat dengan mimpiku semalam. Jantungku berdetak kencang dan lebih kencang lagi seakan-akan jantungku akan segera meledak.
“Terimakasih, apakah ini sudah dibayar?”
“Sudah!” sahutku terlalu cepat, “Ibumu sudah membayarnya,”
Lalu ia tersenyum lagi. Oh, bisakah dia tidak tersenyum saja? “Terimakasih untuk yang kedua kalinya,”
Aku mengangguk terpatah, lalu kami saling terdiam. Aku sibuk menelusuri lekuk wajahnya yang kelewat sempurna, menurutku. Matanya berwarna coklat karamel dipadu dengan bibirnya yang ranum dan merah. Alis matanya tebal sempurna. Bulu matanya tebal dan sangat lentik. Dan rambutnya yang masih berantakan itu membuat ia semakin mempesona seperti Don Juan yang selalu berhasil memikat hati para wanita.
“Hei?” ucapnya sambil melambaikan tangannya dihadapanku, “Apakah kau baik-baik saja?”
Kebodohan nomor dua. Aku terkesiap dan mengerjapkan mataku cepat “Ah ya, aku baik-baik saja. Baiklah aku pulang dulu,”
Aku segera meraih gagang setir si Joni, samar-samar aku melihat Nathan sedang berbalik memunggungiku. Dengan cepat aku meraih kamera polaroidku dan membidik ke arah Nathan yang berbalik membelakangiku itu. Cekrik. Sebuah kertas keluar dari kamera polaroidku, aku meraihnya dan mengibaskan kertas itu beberapa detik menunggu gambar yang kubidik segera muncul.
Seperti kata-kata yang kukutip dari sebuah kumpulan prosa karya Dee yang berjudul Rectoverso, yang berbunyi “Aku sudah sampai di bagian bahwa aku telah jatuh cinta. Namun, orang itu hanya mampu kugapai sebatas punggungnya saja.”
Ironi.
***
“Kau melanggar aturan Kelsie Anastasia Hermawan,” ucap Mike dari balik pintu yang tentu saja membuatku terkejut setengah mati.
“Astaga! Kau mengagetkanku, kau tahu?” pekikku tidak terima.
Mike hanya menggeleng tidak peduli, “Kau memakai Joni tanpa izin dariku, hm?”
Aku memutar bola mataku merasa jengah. Oh baiklah, Mike memang sangat cerewet meskipun dia tampan, “Aku hanya memakainya tidak sampai satu jam, Mikey! Kenapa kau cerewet sekali, sih?”
“Jangan panggil aku dengan sebutan menggelikan itu, Sister. Aku terdengar seperti salah satu tokoh kartun Disney yang kau sukai pada saat kau masih Taman Kanak-Kanak dulu,”
“Aku tidak peduli, kenapa kau tidak menangis saja seperti tadi malam? Daripada menyeramahiku hanya karena Joni,” cibirku serya menjulurkan lidahku padanya.
“Kau sudah kelewatan, Kels,” jawabnya tegas. Oh, apakah dia marah? Aku segera berlari menuju ruang keluarga dengan terbahak-bahak. Mike berusaha mengejarku dan kurasa dia akan mencubit pipiku keras-keras.
“Hentikan Kelsie, Mike!” teriak Ibu kami dari arah dapur, kurasa ia sedang sibuk mengemas kue pesanan lagi.
“Dia mencoba mengejekku, Ma,” sahut Mike tidak terima.
“Dia mencoba memarahiku hanya karena aku memakai Joni untuk mengantar kue ke kompleks sebelah, Ma,” sahutku tak mau kalah.
Ibu hanya menggelengkan kepalanya. Mungkin ia merasa takjub dengan sikap kedua anaknya ini, “Sudahlah. Kelsie, apakah kau menerima uang dari kue yang kau antarkan?”
Kebodohan nomor 3. Ternyata kue itu belum dibayar.
“Apakah mereka belum membayarnya dulu?” tanyaku gugup.
Ibuku menggeleng, “Belum,”
Aku menepuk kepalaku sendiri merasa bodoh. Bagaimana bisa aku mengatakan bahwa kue itu sudah dibayar dulu pada Nathan, “Ku..ku kira mereka sudah membayarnya,Ma. Aku mengatakan bahwa kue itu sudah dibayar,”
“Kecerobohan. Sangat identik dengan Kelsie Anastasia Hermawan, ckck,” decak Mike.
Dan aku hanya bisa terdiam merutuki kebodohanku sendiri.
***
“Kelsie!” sahut seseorang di belakangku. Sontak aku menengok pada sumber suara dan mendapati Melanie, Melanie Shanindya Gruss anak blasteran Indo-Belanda dengan mata biru yang menyala-nyala dan rambut berwarna coklat tembaga. Dia sangat cantik, tentu saja.
“Yes, Mel.. ada apa?” tanyaku.
Melanie menggeleng, lalu ia menyunggingkan sebuah senyuman lebar dihadapanku, “Aku punya berita bagus, kau mau dengar?”
Aku menatapnya dengan alis terpaut, “Apa? Cepat katakan,”
“Luke, Luke Benward dia menembakku semalam. Percaya atau tidak?”
Aku melotot merasa kaget. Tenggorokanku tercekat seketika, “Maksudmu si kapten tim basket sekolah yang digandrungi semua gadis di sekolah ini? kecuali aku tentu saja,”
Melanie menepuk pundakku keras-keras, “Oh ayolah, Kels! Aku serius..”
“Oh ya ampun.. lalu kau menerimanya? Berani taruhan kau pasti menerimanya,”
Melanie menganggukan kepalanya dua kali tanda bahwa ia setuju dengan ucapanku. Tentu saja ini sulit dipercaya. Luke Josh Benward, dia memang sangat terkenal dengan posisinya sebagai kapten tim basket sekolah kami. Namun, Luke yang kutahu adalah sosok yang pendiam dan cuek. Bahkan dia tidak peduli atau sedikitpun menengok pada gadis-gadis yang meneriakkan namanya saat ia lewat di depan kelas kami masing-masing.
Melanie kurasa adalah gadis yang beruntung. Dia memang menyukai Luke sejak pertama kali ia melihat aksi Luke pada sebuah lomba basket antar kelas. Melanie hanya sebatas mengagumi, ia tidak pernah melakukan hal-hal gila seperti gadis lainnya agar mendapat perhatian lebih dari Luke. Sekarang nyatanya tanpa ada angin, tanpa ada hujan, Luke menembaknya. Sekali lagi kukatakan, Melanie sangat beruntung. Dan aku? Entahlah.
“Apakah rumormu sudah menyebar? Sekali lagi, berani taruhan jika semua gadis di sini tahu kau berpacaran dengan Luke. Mereka tidak akan segan-segan menjambak rambutmu, atau mengurungmu di kamar mandi, bisa juga mereka akan mendorongmu dari lantai atas,”
Melanie mengernyitkan alisnya, “Kels! Kau menakutiku atau bagaimana sih? Harusnya kau memberi ucapan selamat padaku,” sahutnya tidak terima.
“Ya..ya baiklah, selamat untukmu dan Luke,” ucapku sambil memeluk Melanie.
Melanie membalas pelukanku sangat erat, “Terima kasih, bestie. Kuharap kau segera menyusulku..dengan Nathan,” ucapnya sambil tertawa.
Aku mencubit lengan Melanie seketika dan ia menjerit tertahan. Lalu kami tertawa bersama. Tawa kami terhenti saat kami menyadari bahwa Luke telah berdiri satu meter di depan kami.
“Your prince charming is coming,” candaku. Melanie hanya tersenyum miring.
“Baiklah aku pergi dulu ke kantin, kau bisa menyusulku nanti. Ok?”
Aku mengangguk terpatah. Melanie melambaikan tangannya padaku, aku hanya tersenyum membalasnya. Hah..aku iri dengan Melanie. Benar-benar iri.
***
Selesai dari kelas, aku langsung melangkahkan kakiku menuju kantin untuk menemui Melanie. Biasanya kita pergi menuju kantin bersama-sama, dan hari ini adalah pertama kali kita tidak ke kantin bersama-sama. Dia sudah pergi bersama Luke tadi, dan sekarang aku berniat menyusulnya.
Suasana kantin tidak begitu ramai, mengingat ini masih pagi, maksudku ini masih pukul 7 pagi dan kelas dimulai pukul 8 hari ini. Aku mengedarkan seluruh pandanganku untuk mencari sosok Melanie. Lalu aku menangkap wajah Melanie sedang tersenyum sambil melambaikan tangannya padaku.
“Kelsie!” teriaknya lantang. Aku mengangguk untuk meresponnya.
Kulangkahkan kakiku menuju meja di mana Melanie dan Luke berada. Semoga Luke tidak menilaiku sebagai pengganggu mereka berdua.
“Hai, maaf mengganggu,” sapaku pada Luke yang sibuk memainkan gadget di tangan kanannya.
Sontak ia mengangkat kepalanya lalu tersenyum padaku, “Ah ya, tidak apa-apa. Kau teman Melanie?”
“Ya dia temanku,” sahut Melanie cepat. Luke hanya tersenyum meresponnya.
“Kelsie, apakah kau sudah sarapan? Pesanlah sesuatu, aku yang menraktirmu,” ucap Melanie sambil mengedipkan sebelah matanya padaku.
“Apakah itu dihitung sebagai pajak jadianmu?” godaku padanya. Melanie hanya tertawa sumbang.
Aku meraih kamera polaroid yang kugantungkan di leherku, “Aku ingin mengambil gambar kalian berdua, bolehkah?”
“Untuk apa? Kau pasang di mading sekolah?” sahut Luke cemas.
“Luke, dia memang suka membidik apapun yang menurutnya menarik. Sudahlah turuti saja, dia akan memasang foto kita di mading kamarnya. Berani taruhan,” jawab Melanie cepat-cepat. Aku hanya mengangguk setuju.
Luke menyetujui permintaanku. Cekrik. Selembar kertas muncul dari kamera polaroidku. Beberapa detik kemudian, kertas itu memunculkan sebuah gambar di mana Melanie sedang bersandar di bahu Luke, dan Luke menyandarkan kepalanya di atas kepala Melanie. Ah, bukankah mereka sangat romantis. Dan tentu saja aku iri.
“Taraaaa...” pekikku dramatis, “Lihatlah, kalian sangat cocok berdua,”
Melanie mengambil kertas foto itu di tanganku, “Lihat Luke, bukankah ini sangat bagus?”
“Ya aku terlihat sangat tampan di foto itu,” sahut Luke yang sontak membuat Melanie menatapnya dengan pandangan tidak terima. Dan aku tertawa melihat tingkah laku mereka.
Lama kami berbincang, dan aku sudah melahap 2 potong roti coklat dan meneguk habis susu kotak di hadapanku. Tiba- tiba aku merasakan seseorang duduk di sebelahku. Sontak aku menengok dan mendapati Nathanlah yang duduk disampingku.
“Apakah aku melewatkan sesuatu tentangmu, Luke Benward?” ucapnya pelan.
Luke terkejut mendapati Nathan tiba-tiba ada dihadapannya. Melanie menatapku dengan pandangan yang sulit ditebak. Dan aku bingung harus berbuat apa.
“Nathan, darimana kau tahu aku berada di sini?” tanya Luke.
Nathan tersenyum. Ya kurasa dia sangat hobi tersenyum, “Tidak perlu tau, aku hanya ingin tau apakah aku benar-benar melewatkan sesuatu yang sangat penting tentang sahabatku?”
“Ya..ya..kenalkan Nathan, dia Melanie pacar baruku,” ucap Luke seraya mengenalkan Melanie padanya, “Dan oh ya, dia adalah Kelsie, teman pacarku,” sambungnya.
Selesai menjabat tangan Melanie, Nathan menatapku dengan alis terpaut. Dadaku berdesir secara tiba-tiba, “Kau? Bukankah kau yang kemarin pagi mengantarkan kue ke rumahku?”
Aku terdiam.
“Hei, kau gadis yang mengantarkan kue ke rumahku kemarin,kan?” tanyanya serius. Dan aku hanya mengerjapkan mataku.
“Kelsie!” bentak Melanie yang sontak membuat aku terkejut, “Dia sedang berbicara padamu, kau dengar?”
Aku mengangguk, “Ya, aku adalah gadis yang membawa kue dan me-..”
Tiba-tiba aku mendengar Nathan terkikik pelan, “Kau tahu? Ibuku mengatakan kue itu belum dibayar olehnya. Tapi kau menjawab kue itu sudah dibayar oleh ibuku,”
Skakmat. Kebodohan seorang Kelsie Anastasia Hermawan.
Aku tertawa sumbang, “Ya..aku kira kue itu sudah dibayar memang..”
Nathan lagi-lagi tersenyum, lalu secara tiba-tiba ia mengacak rambutku pelan. Wajahku memerah. Jantungku berdetak 3 kali lebih cepat, “Kau lucu,”
Aku lucu?
***
Aku tersenyum-senyum sendiri ketika melihat sebuah kertas foto yang ada di tanganku. Aku sangat beruntung memiliki teman seperti Melanie. Ya, saat kami berada di kantin sekolah tadi Melanie dengan mudahnya merebut kamera polaroidku lalu ia membidikkan kamera itu padaku dan Nathan tanpa kuduga. Ekspresi wajahku saat Melanie mengambil gambar tadi sangatlah tidak pas. Aku terlalu terkejut dan hendak meraih kamera polaroidku dari tangannya. Dan yaa, mulutku terbuka lebar dalam foto itu, sedangkan Nathan ia hanya tersenyum sambil melihat tingkahku yang kelewat batas.
Meskipun ekspresi wajahku dan gaya foto kami yang tidak seperti bagaimana mestinya. Aku tidak akan membuang foto itu sampai kapanpun. Foto pertamaku bersama Nathan.
“Kelsie!” pekik seseorang dibelakangku. Aku sontak menengok dan mendapati Luke sedang berlari kecil untuk menghampiriku.
“Ya? Ada apa?”
Luke terengah, “Datanglah besok ke rumahku. Aku mengadakan pesta untuk hari jadiku dengan Melanie. Melanie lupa untuk memberitahumu kurasa,”
Aku mengangguk terpatah, “Kurasa juga begitu,”jawabku bodoh.
Luke tertawa, “Baiklah, aku akan menyuruh Nathan untuk menjemputmu. Kalian bisa berangkat bersama. Bukankah rumah kalian dekat?”
Aku tertegun, “Apa?! Tidak. Tidak usah aku akan berangkat sendiri,”
“Oh ayolah, “ pinta Luke terdengar memohon.
“Ya..ya baiklah. Terserah kau saja,” jawabku pasrah.
Luke tersenyum lebar, “Ahm, thanks Kels,”
***
“Tumben sekali kau memakai gaun? Aaaa.. kau akan kencan yaa? Kelsie sudah besar rupanya,” ejek Mike sambil mengunyah keripik kentang di tangannya.
“Tidak. Ini pesta. Bukan kencan,” sahutku tegas.
Mike hanya mengangguk-anggukan kepalanya dramatis. Aku segera memakai bandana manik-manik berwarna ungu yang sepadan dengan pakaianku yang berwarna soft purple. Kupakai sepatu balet berwarna ungu pula. Tak lupa kuraih kamera polaroidku dan mengalungkannya di leherku. Akan ada banyak gambar yang tercetak hari ini pasti.
“Kau memakai pakaian serba ungu. Kau seperti terong berjalan, kau tahu?” ejek Mike untuk yang kedua kalinya.
Aku memutar bola mataku jengah lalu meraih botol body lotionku dan melemparkannya pada Mike yang asik berbaring di tempat tidurku dan membuat remah-remah dari keripik kentang di tangannya mengotori seprai tempat tidurku.
“Jangan makan di kamarku, Mikey!”
Mike hanya mengedikkan bahunya dan melanjutkan aksinya untuk membuat kotoran berlebih di tempat tidurku seraya menonton kartun anak-anak favoritnya. Spongebob Squarepants.
Jam sudah menunjukkan pukul 7 malam. Nathan tak kunjung tiba. Pesta dimulai pukul setengah 8. 5 menit,10 menit,15 menit kemudian aku mendengar sebuah bel mobil berbunyi di depan rumahku.
“Baiklah Mikey aku berangkat. Aku sudah meminta izin pada Ibu tadi sore melalui telefon, hati-hatilah di rumah,” pamitku pada Mike dan ia hanya berdehem untuk merespon jawabanku.
Aku sedikit kesulitan untuk berlari karena memakai gaun. Tidak terbiasa tentu saja. Aku segera membuka gerbang rumah lalu menguncinya kembali. Lalu mataku tertuju pada sebuah mobil sport berwarna merah dan...Nathan.
“Maaf terlambat,” sahutnya cepat diiringi dengan senyuman yang mencetak kedua lesung pipi yang manis. Dan yang aku bisa lakukan hanya tertegun seperti orang bodoh.
***
Sepanjang perjalanan kami, Kelsie hanya terdiam begitu pula aku. Dia terlihat cantik dengan gaun berwarna ungu dan pernak-pernik serba ungunya. Oh ayolah Nathan, sampaikan pujian itu langsung padanya.
“Kau cantik malam ini,Kelsie,” ucapku cepat dan kurasa terlalu cepat. Apakah aku gugup?
Kelsie menengadahkan wajahnya menatapku dengan pandangan sulit ditebak, “Kau tak apa, Nat?”
“Apa? Memangnya aku salah memujimu?”
Kelsie terdiam dan dengan segera ia memalingkan wajahnya, kurasa dia malu. Aku tertawa kecil. Entah kenapa sikapnya yang malu-malu itu selalu membuatku gemas. 10 menit kemudian kami tiba di depan rumah Luke. Rumahnya terlihat ramai dan dengan segera Kelsie melompat turun dari mobilku sebelum aku membukakannya dahulu. Apakah dia marah?
Setelah kuparkirkan mobilku, segera aku menyusul Kelsie yang sudah berjalan dulu menuju rumah Luke, “Kelsie!” teriakku padanya dan sontak ia menengok dan menghentikan langkahnya.
“Kau marah padaku?” tanyaku.
Kelsie mengedikkan bahunya lalu menggeleng, “Tidak, untuk apa aku marah?”
“Kau meninggalkanku dulu. Dan kau turun dari mobil sebelum aku membukakannya untukmu,”
Kelsie tertawa, “Memang aku terlihat marah ya? Tidak aku tidak marah. Sudahlah sampai kapan kita berdiri sendiri. Ayo masuk dan temui Luke bersama Melanie,” ajaknya semangat.
Aku menghembuskan nafasku lega.
***
Luke mengundang seluruh siswa seangkatannya di SMA. Termasuk para gadis-gadis pemuja Luke. Luke mengatakan bahwa ia sengaja mengundang mereka agar mereka tahu bahwa Luke sudah memiliki Melanie sekarang. Tapi, masih banyak dari mereka yang menatap Melanie dengan pandangan tidak suka.
Aku, Luke, Kelsie, dan Melanie sedang berkumpul bersama di tengah-tengah ballroom. Kurasa akan ada pesta dansa malam ini. Luke sempat menyuruhku untuk mengajak Kelsie berdansa, tetapi dengan malu-malu Kelsie menolaknya. Dan aku hanya tertawa melihat tingkahnya. Saat kami sedang asyik berbicara bersama, tiba-tiba datanglah segerombolan gadis yang menatap kami dengan pandangan sulit ditebak.
Selanjutnya tanpa diduga salah satu dari gadis itu menyiramkan sirup strawberrynya pada Melanie.
Dan dengan gerakan cepat Kelsie berlari untuk melindungi Melanie dan sirup strawberry itu tumpah membanjiri kepala hingga gaunnya.
“Apa yang kalian lakukan!” bentak Luke pada segerombolan gadis itu. Dan segerombolan gadis itu terkejut karena mereka salah mangsa.
“Pergi! Cepat pergi! Pesta sudah bubar!” tukas Luke tegas. Para undanganpun juga tampak terkejut dengan kejadian yang baru saja terjadi. Merekapun bubar satu persatu.
Aku melihat Kelsie sedang mengibaskan gaunnya yang sedikit basah itu. Rambutnya lengket dan ia hanya bisa mendengus sebal.
“Kelsie, kau tak apa?” pekik Melanie.
Kelsie hanya menganggukkan kepalanya dua kali, “Kurasa aku harus pulang, badanku lengket semua,”
“Aku yang antar!” sahutku cepat.
Kelsie hanya terdiam dan Melanie menyuruhku untuk segera membawa Kelsie pulang.
***
Oh, apakah hari ini hari sialku? Gadis tadi mebuat badanku lengket semua. Dan Nathan menginjakkan pedal gasnya kelewat cepat. Oh ayolah aku baik-baik saja.
“Nathan, pelankan laju mobilmu. Aku tidak segera melahirkan. Kau ini,” pekikku kubuat sesantai mungkin. Demi jenggot Pak Jono guru fisikaku, sebenarnya jantungku berdegup tidak karuan sedari tadi saat kami berada dalam satu mobil.
Nathan memelankan laju mobilnya sedetik kemudian, “Aku tidak mau melihatmu tidak nyaman karena sirup strawberry itu,”ucapnya pelan.
“Sejak kapan kau peduli denganku seperti ini?” tanyaku sarkatis. Mendadak ia mengerem mobilnya dan membuatku terjungkal kedepan.
“Mengapa pertanyaanmu seperti itu? Aku menyukaimu, tentu saja aku peduli denganmu,” jawabnya lantang.
Aku terdiam. 1 detik, 2 detik, 5 detik, 10 detik, lalu aku mendengar Nathan melenguh, “Sebaiknya kita cepat pulang,” lanjutnya.
Sesampainya di depan rumahku dengan segera aku melompat turun dari mobil Nathan. Nathan dengan segera ikut turun dari mobilnya. Cepat masuk ke dalam Kelsie, batinku berteriak.
“Nathan, terimakasih atas tumpanganmu. Aku masuk dulu,” ucapku cepat-cepat dan segera melangkahkan kakiku menjauhi Nathan.
Namun dengan cepat Nathan meraih pergelangan tanganku dan berkata, “Maaf jika terlalu cepat. Yang jelas aku menyukaimu jauh sebelum aku mengenalmu seperti sekarang. Kurasa perasaan tidak boleh untuk ditahan. Jangan tanya kenapa aku berani mengatakannya padamu sekarang. Faktanya aku menyukaimu. Titik.”
Aku menelan ludahku gugup, setelah itu aku merasakan sesuatu yang hangat menempel di punggungku dan sebuah tangan yang memelukku erat dari belakang. Dan hembusan nafas dia atas kepalaku yang lengket. 3 detik berikutnya aku melepaskan pelukan Nathan. Dan tanpa berkata apapun aku segera masuk ke dalam rumah dan meninggalkan Nathan yang terpaku sambil menatapku dari kejauhan.
Benar apa kata Nathan. Semuanya memang terjadi telalu cepat.
***
Mike sedang mengambil air minum di dapur ketika ia melihat adiknya datang dengan pakaian dan rambut yang sudah basah dan berantakkan. Kelsie hanya menyelonong masuk menuju kamarnya tanpa mempedulikan Mike yang termangu kebingungan.
Kelsie menutup pintu kamarnya dan menguncinya rapat-rapat. Dan yang ia lakukan di kamarnya adalah meluapkan emosinya di bawah guyuran air shower hangat dengan gaun yang masih melekat di tubuh mungilnya. Nathan terlalu cepat dan terlalu mendadak. Tapi hati manusia siapa yang bisa menebak?
Mike mengetuk pintu kamar Kelsie berulang kali, namun Kelsie tidak sama sekali menggubrisnya, “Kelsie! Buka pintunya! Apa yang kau lakukan di dalam?! Kenapa kau tiba dengan berantakan? Cepat buka puntunya, Kelsie!” teriak Mike tak sabaran.
“Aku sedang mandi, Mikey. Dan aku baik-baik saja,” sahutnya lantang. Dan Mike hanya menghembuskan nafasnya keras-keras lalu pergi meninggalkan kamar Kelsie.
***
4 hari berikutnya, Melanie tampak kebingungan karena sudah 4 hari Kelsie tidak masuk sekolah. Handphone miliknyapun tidak bisa dihubungi. Melanie sudah berniat pergi ke rumah Kelsie nanti sepulang sekolah. Ia ingin tahu apa penyebab Kelsie tidak masuk sekolah. Terakhir kali ia bertanya pada Nathan dan ia hanya terdiam tidak menjawab pertanyaan Melanie.
Bel sekolah berbunyi nyaring. Semua siswa berhamburan untuk segera pulang. Dan Melanie langsung melangkahkan kakinya untuk segera pergi mencari taksi. Luke sedari tadi melihat kelakuan pacarnya itu yang tampak sibuk sendiri. Luke hendak menawarkan untuk mengantar Melanie pulang. Namun Melanie menolaknya dan tidak memperdulikan keberadaan Luke. Setengah jam kemudian, Melanie tiba di depan rumah Kelsie. Rumahnya tampak sepi tidak seperti biasanya.
Saat Melanie akan menekan tombol bel rumah Kelsie, tiba-tiba pintu gerbang terbuka. Sama-sama terkejutnya mereka berdua hanya saling berpandangan, “Kelsie,” pekik Melanie.
“Apa yang kau lakukan?” sahut Kelsie tertegun.
Melanie hampir menitikkan air matanya melihat reaksi Kelsie. “Kelsie, kemana saja kau selama ini? dan hendak ke mana kau sekarang? Untuk apa kau membawa koper itu?”
Kelsie melenguh lalu ia menunduk, “Maafkan aku, Mel. Maaf jika ini terlalu cepat. Aku harus pergi ke Jepang. Ayahku di pindah tugaskan, dan keluarga kami memutuskan untuk menetap di sana. Mungkin hanya 5 tahun, setelah itu aku kembali lagi ke sini,”
“Kau tidak bisa benar-benar tinggal di sini?” tanya Melanie sedikit bergetar. Air mata sudah menggenang di pelupuk matanya.
Kelsie tersenyum manis, “Tidak, ini semua sudah keputusan keluargaku,”
Tanpa berfikir panjang, Melanie menarik sahabatnya itu dalam pelukannya. Air matanya sudah membanjiri pundak Kelsie. Dan di saat yang bersamaan, Kelsie melihat Nathan berdiri dari kejauhan, memperhatikan ia dengan Melanie. Dan Kelsie sempat melihat ada sebuah bucket bunga di tangannya. Nathan yang awalnya memperhatikan Kelsie, dengan segera ia pergi meninggalkan daerah sekeitar rumah Kelsie.
“Tunggu sebentar di sini,” ucap Kelsie sambil mengendurkan pelukannya pada Melanie. Melanie hanya mengangguk.
Kelsie segera mengikuti Nathan. Sebelum terlambat, ia akan berpamitan pada Nathan sekarang. Ia memanggil Nathan dengan suaranya yang lantang. Nathan sontak menghentikan langkahnya.
“Kelsie, maaf soal beberapa hari yang la-...”
“Sudahlah. Aku sudah melupakannya. Aku ingin mengatakan sesuatu. Aku akan pergi. Ke Jepang,” ucapnya tersendat. Kelsie merasakan lidahnya seolah-olah membeku secara tiba-tiba.
Nathan awalnya terkejut, lalu ia menunduk sedih. Haruskah Kelsie pergi?
“Jangan. Tetaplah di sini. Akankah?” tanya Nathan hati-hati.
Kelsie menggeleng, “Tidak, aku tidak bisa. Yang jelas aku sudah berpamitan padamu. Jaga dirimu baik-baik di sini. Jaga Melanie. Dan ini untukmu,” Kelsie mengeluarkan sebuah amplop berwarna biru lalu ia berikan pada Nathan.
“Apa ini?” tanya Nathan.
“Bukalah jika kau sudah sampai rumah. Aku tidak bisa berlama-lama lagi. Ingat pesanku untuk menjaga Melanie, ya? Aku pergi dulu,” pamit Kelsie, lalu secara tidak terduga Kelsie memeluk Nathan erat, sangat erat. Dan tanpa berfikir panjang Nathan membalas pelukan Kelsie. Ia meletakkan dagunya di atas kepala Kelsie lalu mengecupnya pelan.
Beberapa detik kemudian, Kelsie melepaskan pelukannya lalu segera pergi melangkahkan kakinya menuju mobil yang dikendarai Mike dan sudah siap berangkat menuju Bandara. Kelsie berpamitan dan memeluk sahabatnya itu sekali lagi. Lalu dengan segera ia masuk ke dalam mobil dan dalam hitungan detik mobil itu melesat pergi.
Kelsie yang tampak baik-baik saja sedari tadi, akhirnya pertahanannya runtuh juga. Ia menumpahkan air matanya di dalam mobil. Mike tahu bagaimana perasaan adiknya, ia hanya bisa mencoba menenangkan adik perempuan kesayangannya itu.
***
Sesampainya di rumah, Nathan segera menuju kamarnya. Ia menghempaskan tubuhnya di atas tempat tidurnya dan mengeluarkan sebuah amplop berwarna biru yang ia dapat sebelum Kelsie pergi. Nathan mengeluarkan isi dari amplop tersebut, dan ia mendapati sebuah kertas-kertas yang di hasilkan dari kamera polaroid milik Kelsie dan semua kertas itu mencetak gambar seseorang, yaitu Nathan.
Semua foto di beri tanggal oleh Kelsie, dan foto pertama adalah foto saat Nathan sedang berjalan di koridor sekolah sekitar awal-awal ia duduk di bangku SMA. Nathan hanya bisa melenguh seraya bertanya dalam hati bahwa Kelsie lah yang lebih awal mencintainya.
Di sela-sela kumpulan foto yang dibidik oleh Kelsie terdpat sebuah foto yang menarik hati Nathan. Dan Nathan mengingat betul foto itu di ambil saat Kelsie mengantarkan sebuah kue pesanan ibunya. Dalam foto itu Nathan sedang berbalik membelakangi Kelsie, dan di balik kertas foto itu terdapat sebuah tulisan tangan Kelsie yang rapi.
“Nathan,” desisnya pelan hampir tidak bersuara.
Sejurus kemudian ia meremas rambutnya sendiri dan sedikit menghentakkan kakinya di atas tempat tidurnya. Lalu ingatannya kembali pada sebuah mimpi di mana ia melihat Nathan dari bidikan kameranya yang sedang tersenyum manis menatap Kelsie yang terpaku dengan sosok yang dibidiknya itu sendiri.
Kelsie membuang muka ke arah jendela kamarnya, dan melihat Ibunya sedang menyirami koleksi bunga anggrek kesayangannya. Sedetik kemudian ia meraih jendela kamarnya dan mendorongnya pelan. Suara berderit dari jendela itu spontan membuat Ibunya menengok ke arah kamar Kelsie, dan Kelsie hanya menyambut dengan sebuah cengiran lebar.
“Selamat pagi..” sapanya dengan suara serak khas orang baru saja bangun tidur.
Sang Ibu yang bernama Grace itu tersenyum seraya menatap Kelsie dengan lembut, “Selamat pagi,Kelsie. Tumben sekali kau sudah bangun jam 7 pagi di hari Minggu?”
Kelsie menatap Ibunya jengah, “Apakah kau berusaha menyindirku,Ma? Ayolah seharusnya kau bersyukur karena aku bisa bangun sepagi ini di hari Minggu,”
Ibunya tersenyum, “Cepat angkat kakimu dan segeralah pergi ke kamar mandi. Kau harus membantu Mama hari ini,”
“Membantu apa? “
“Membantu Mama untuk mengantarkan kue pesanan Ibu temanmu di kompleks sebelah,”
Kelsie menelan ludahnya gugup, “Siapa? Kompleks sebelah? Apakah rumah Pak Alex?”
“Ya,” sahut Ibunya cepat,bahkan terlalu cepat, “Bukankah anak dari Pak Alex adalah temanmu? Kalau tidak salah namanya Nathan,”
Mendadak Kelsie merasakan jantungnya berdegup cepat. Mungkin ini terlalu berlebihan, namun pernahkah kau merasakan jatuh cinta diam-diam? Bahkan hanya mendengar namanya saja bisa menimbulkan reaksi defensif pada dirimu sendiri? Tiba-tiba jantungmu berdegup kencang tanpa sebab adalah salah satu contohnya.
“Dia bukan temanku, Ma. Kita berbeda kelas,” jawabku.
“Tapi dia satu sekolah denganmu bukan? Sudahlah cepat bangun dan segera antar kue itu ke rumah Pak Alex,”
Kelsie hanya bisa terdiam, jantungnya berdegup luar biasa kencang. Padahal, ia tidak tahu apa yang akan terjadi nantinya.
***
“Ma, mana kue yang harus kuantarkan?” tanyaku seraya melihat ada beberapa tumpukan kardus berisi kue-kue pesanan yang sudah siap antar.
“Kantong berwarna merah, sudah kusiapkan di dekat lemari es,” sahutnya dari kamar.
“Baiklah, aku berangkat,”
Sepeda fixie milik Mike, kakak laki-lakiku sengaja aku pakai untuk mengantar kue pesanan ke kompleks sebelah. Mike masih tidur tentu saja. Jika saja ia tahu aku menggunakan fixie kesayangannya yang diberi nama “Joni” ini tanpa meminta izin, dia pasti akan menyemburku dengan omelan-omelan khasnya. Dia sangat cerewet untuk ukuran seorang pria, dan ia memiliki sifat yang sangat terbuka pada semua orang dan sangat berbanding terbalik denganku yang lebih tertutup.
Dia tidak akan malu untuk menangis di hadapanku, di hadapan Ibuku, atau bahkan Ayahku sekalipun jika ia berada dalam sebuah masalah yang sangat berat. Kemarin malam saja Mike menumpahkan lagi air matanya di hadapan Ibu hanya karena Carina yang memutuskan hubungan mereka tanpa sebab. Apakah itu berlebihan untuk ukuran seorang pria menangis karena cinta? Kurasa tidak. Mike sangat mencintainya, mereka sudah hampir 6 tahun bersama-sama sejak mereka duduk di bangku SMA kelas 10. Dan tentu saja siapapun yang akan menjalani hubungan selama itu lalu tiba-tiba tanpa sebab hubungan itu harus berakhir pasti akan terasa sangat menyakitkan.
Aku mengambil sebuah karet rambut di saku belakang celanaku, lalu dengan cepat aku mengikat rambutku menjadi ikatan ekor kuda yang lumayan rapi menurutku. Kurapikan pakaianku dan kamera polaroid yang tergantung di leherku. Kamera polaroid ini adalah teman baikku. Aku akan selalu membawanya kemanapun aku pergi. Jika ada sesuatu yang menurutku menarik, dengan segera aku membidiknya lalu menempelkan hasil bidikanku pada sebuah mading kecil di kamarku.
Dengan cepat aku mengayuh “Joni” sekuat tenaga. Setidaknya agar aku segera tiba di tempat tujuan. 15 menit yang kutempuh dengan sepeda fixie ini cukup membuat keringat membanjiri tubuhku. Rumah dengan gerbang berwarna merah itu tampak sepi. Dengan segera aku menekan tombol bel rumah yang sudah tersedia. Dan beberapa menit berikutnya, seseorang muncul dibalik gerbang. Seseorang itu hanya memakai kaos tanpa lengan dengan celana basket. Ditambah lagi dengan rambutnya yang tampak berantakan. Dan dia adalah Nathan.
“Ya?” sahutnya seraya menatapku dengan pandangan yang sulit ditebak.
Aku terdiam mencoba mengatur kecepatan jantungku yang berdetak tidak karuan setelah mendapati Nathanlah yang menyambutku, “Ah..hm..hai,”
“Bodoh,” aku memekik dalam hati, “Apa yang kau lakukan, Kels.. cepat berikan kuenya,” alam sadarku berteriak kembali, seolah-olah mengirimkan sebuah sinyal agar segera ditangkap oleh otakku.
Nathan menatapku seraya mengernyitkan kedua alisnya yang tebal, “Ya..hai,” jawabnya tak kalah kikuk denganku. Ya Tuhan Kelsie apa yang kau lakukan.
“Ehm, ini Ibumu memesan kue pada Ibuku, dan ini pesanannya,” kuserahkan kantong berwarna merah itu padanya. Dan aku melihat ia tersenyum padaku. Jenis senyuman yang sama kulihat dengan mimpiku semalam. Jantungku berdetak kencang dan lebih kencang lagi seakan-akan jantungku akan segera meledak.
“Terimakasih, apakah ini sudah dibayar?”
“Sudah!” sahutku terlalu cepat, “Ibumu sudah membayarnya,”
Lalu ia tersenyum lagi. Oh, bisakah dia tidak tersenyum saja? “Terimakasih untuk yang kedua kalinya,”
Aku mengangguk terpatah, lalu kami saling terdiam. Aku sibuk menelusuri lekuk wajahnya yang kelewat sempurna, menurutku. Matanya berwarna coklat karamel dipadu dengan bibirnya yang ranum dan merah. Alis matanya tebal sempurna. Bulu matanya tebal dan sangat lentik. Dan rambutnya yang masih berantakan itu membuat ia semakin mempesona seperti Don Juan yang selalu berhasil memikat hati para wanita.
“Hei?” ucapnya sambil melambaikan tangannya dihadapanku, “Apakah kau baik-baik saja?”
Kebodohan nomor dua. Aku terkesiap dan mengerjapkan mataku cepat “Ah ya, aku baik-baik saja. Baiklah aku pulang dulu,”
Aku segera meraih gagang setir si Joni, samar-samar aku melihat Nathan sedang berbalik memunggungiku. Dengan cepat aku meraih kamera polaroidku dan membidik ke arah Nathan yang berbalik membelakangiku itu. Cekrik. Sebuah kertas keluar dari kamera polaroidku, aku meraihnya dan mengibaskan kertas itu beberapa detik menunggu gambar yang kubidik segera muncul.
Seperti kata-kata yang kukutip dari sebuah kumpulan prosa karya Dee yang berjudul Rectoverso, yang berbunyi “Aku sudah sampai di bagian bahwa aku telah jatuh cinta. Namun, orang itu hanya mampu kugapai sebatas punggungnya saja.”
Ironi.
***
“Kau melanggar aturan Kelsie Anastasia Hermawan,” ucap Mike dari balik pintu yang tentu saja membuatku terkejut setengah mati.
“Astaga! Kau mengagetkanku, kau tahu?” pekikku tidak terima.
Mike hanya menggeleng tidak peduli, “Kau memakai Joni tanpa izin dariku, hm?”
Aku memutar bola mataku merasa jengah. Oh baiklah, Mike memang sangat cerewet meskipun dia tampan, “Aku hanya memakainya tidak sampai satu jam, Mikey! Kenapa kau cerewet sekali, sih?”
“Jangan panggil aku dengan sebutan menggelikan itu, Sister. Aku terdengar seperti salah satu tokoh kartun Disney yang kau sukai pada saat kau masih Taman Kanak-Kanak dulu,”
“Aku tidak peduli, kenapa kau tidak menangis saja seperti tadi malam? Daripada menyeramahiku hanya karena Joni,” cibirku serya menjulurkan lidahku padanya.
“Kau sudah kelewatan, Kels,” jawabnya tegas. Oh, apakah dia marah? Aku segera berlari menuju ruang keluarga dengan terbahak-bahak. Mike berusaha mengejarku dan kurasa dia akan mencubit pipiku keras-keras.
“Hentikan Kelsie, Mike!” teriak Ibu kami dari arah dapur, kurasa ia sedang sibuk mengemas kue pesanan lagi.
“Dia mencoba mengejekku, Ma,” sahut Mike tidak terima.
“Dia mencoba memarahiku hanya karena aku memakai Joni untuk mengantar kue ke kompleks sebelah, Ma,” sahutku tak mau kalah.
Ibu hanya menggelengkan kepalanya. Mungkin ia merasa takjub dengan sikap kedua anaknya ini, “Sudahlah. Kelsie, apakah kau menerima uang dari kue yang kau antarkan?”
Kebodohan nomor 3. Ternyata kue itu belum dibayar.
“Apakah mereka belum membayarnya dulu?” tanyaku gugup.
Ibuku menggeleng, “Belum,”
Aku menepuk kepalaku sendiri merasa bodoh. Bagaimana bisa aku mengatakan bahwa kue itu sudah dibayar dulu pada Nathan, “Ku..ku kira mereka sudah membayarnya,Ma. Aku mengatakan bahwa kue itu sudah dibayar,”
“Kecerobohan. Sangat identik dengan Kelsie Anastasia Hermawan, ckck,” decak Mike.
Dan aku hanya bisa terdiam merutuki kebodohanku sendiri.
***
“Kelsie!” sahut seseorang di belakangku. Sontak aku menengok pada sumber suara dan mendapati Melanie, Melanie Shanindya Gruss anak blasteran Indo-Belanda dengan mata biru yang menyala-nyala dan rambut berwarna coklat tembaga. Dia sangat cantik, tentu saja.
“Yes, Mel.. ada apa?” tanyaku.
Melanie menggeleng, lalu ia menyunggingkan sebuah senyuman lebar dihadapanku, “Aku punya berita bagus, kau mau dengar?”
Aku menatapnya dengan alis terpaut, “Apa? Cepat katakan,”
“Luke, Luke Benward dia menembakku semalam. Percaya atau tidak?”
Aku melotot merasa kaget. Tenggorokanku tercekat seketika, “Maksudmu si kapten tim basket sekolah yang digandrungi semua gadis di sekolah ini? kecuali aku tentu saja,”
Melanie menepuk pundakku keras-keras, “Oh ayolah, Kels! Aku serius..”
“Oh ya ampun.. lalu kau menerimanya? Berani taruhan kau pasti menerimanya,”
Melanie menganggukan kepalanya dua kali tanda bahwa ia setuju dengan ucapanku. Tentu saja ini sulit dipercaya. Luke Josh Benward, dia memang sangat terkenal dengan posisinya sebagai kapten tim basket sekolah kami. Namun, Luke yang kutahu adalah sosok yang pendiam dan cuek. Bahkan dia tidak peduli atau sedikitpun menengok pada gadis-gadis yang meneriakkan namanya saat ia lewat di depan kelas kami masing-masing.
Melanie kurasa adalah gadis yang beruntung. Dia memang menyukai Luke sejak pertama kali ia melihat aksi Luke pada sebuah lomba basket antar kelas. Melanie hanya sebatas mengagumi, ia tidak pernah melakukan hal-hal gila seperti gadis lainnya agar mendapat perhatian lebih dari Luke. Sekarang nyatanya tanpa ada angin, tanpa ada hujan, Luke menembaknya. Sekali lagi kukatakan, Melanie sangat beruntung. Dan aku? Entahlah.
“Apakah rumormu sudah menyebar? Sekali lagi, berani taruhan jika semua gadis di sini tahu kau berpacaran dengan Luke. Mereka tidak akan segan-segan menjambak rambutmu, atau mengurungmu di kamar mandi, bisa juga mereka akan mendorongmu dari lantai atas,”
Melanie mengernyitkan alisnya, “Kels! Kau menakutiku atau bagaimana sih? Harusnya kau memberi ucapan selamat padaku,” sahutnya tidak terima.
“Ya..ya baiklah, selamat untukmu dan Luke,” ucapku sambil memeluk Melanie.
Melanie membalas pelukanku sangat erat, “Terima kasih, bestie. Kuharap kau segera menyusulku..dengan Nathan,” ucapnya sambil tertawa.
Aku mencubit lengan Melanie seketika dan ia menjerit tertahan. Lalu kami tertawa bersama. Tawa kami terhenti saat kami menyadari bahwa Luke telah berdiri satu meter di depan kami.
“Your prince charming is coming,” candaku. Melanie hanya tersenyum miring.
“Baiklah aku pergi dulu ke kantin, kau bisa menyusulku nanti. Ok?”
Aku mengangguk terpatah. Melanie melambaikan tangannya padaku, aku hanya tersenyum membalasnya. Hah..aku iri dengan Melanie. Benar-benar iri.
***
Selesai dari kelas, aku langsung melangkahkan kakiku menuju kantin untuk menemui Melanie. Biasanya kita pergi menuju kantin bersama-sama, dan hari ini adalah pertama kali kita tidak ke kantin bersama-sama. Dia sudah pergi bersama Luke tadi, dan sekarang aku berniat menyusulnya.
Suasana kantin tidak begitu ramai, mengingat ini masih pagi, maksudku ini masih pukul 7 pagi dan kelas dimulai pukul 8 hari ini. Aku mengedarkan seluruh pandanganku untuk mencari sosok Melanie. Lalu aku menangkap wajah Melanie sedang tersenyum sambil melambaikan tangannya padaku.
“Kelsie!” teriaknya lantang. Aku mengangguk untuk meresponnya.
Kulangkahkan kakiku menuju meja di mana Melanie dan Luke berada. Semoga Luke tidak menilaiku sebagai pengganggu mereka berdua.
“Hai, maaf mengganggu,” sapaku pada Luke yang sibuk memainkan gadget di tangan kanannya.
Sontak ia mengangkat kepalanya lalu tersenyum padaku, “Ah ya, tidak apa-apa. Kau teman Melanie?”
“Ya dia temanku,” sahut Melanie cepat. Luke hanya tersenyum meresponnya.
“Kelsie, apakah kau sudah sarapan? Pesanlah sesuatu, aku yang menraktirmu,” ucap Melanie sambil mengedipkan sebelah matanya padaku.
“Apakah itu dihitung sebagai pajak jadianmu?” godaku padanya. Melanie hanya tertawa sumbang.
Aku meraih kamera polaroid yang kugantungkan di leherku, “Aku ingin mengambil gambar kalian berdua, bolehkah?”
“Untuk apa? Kau pasang di mading sekolah?” sahut Luke cemas.
“Luke, dia memang suka membidik apapun yang menurutnya menarik. Sudahlah turuti saja, dia akan memasang foto kita di mading kamarnya. Berani taruhan,” jawab Melanie cepat-cepat. Aku hanya mengangguk setuju.
Luke menyetujui permintaanku. Cekrik. Selembar kertas muncul dari kamera polaroidku. Beberapa detik kemudian, kertas itu memunculkan sebuah gambar di mana Melanie sedang bersandar di bahu Luke, dan Luke menyandarkan kepalanya di atas kepala Melanie. Ah, bukankah mereka sangat romantis. Dan tentu saja aku iri.
“Taraaaa...” pekikku dramatis, “Lihatlah, kalian sangat cocok berdua,”
Melanie mengambil kertas foto itu di tanganku, “Lihat Luke, bukankah ini sangat bagus?”
“Ya aku terlihat sangat tampan di foto itu,” sahut Luke yang sontak membuat Melanie menatapnya dengan pandangan tidak terima. Dan aku tertawa melihat tingkah laku mereka.
Lama kami berbincang, dan aku sudah melahap 2 potong roti coklat dan meneguk habis susu kotak di hadapanku. Tiba- tiba aku merasakan seseorang duduk di sebelahku. Sontak aku menengok dan mendapati Nathanlah yang duduk disampingku.
“Apakah aku melewatkan sesuatu tentangmu, Luke Benward?” ucapnya pelan.
Luke terkejut mendapati Nathan tiba-tiba ada dihadapannya. Melanie menatapku dengan pandangan yang sulit ditebak. Dan aku bingung harus berbuat apa.
“Nathan, darimana kau tahu aku berada di sini?” tanya Luke.
Nathan tersenyum. Ya kurasa dia sangat hobi tersenyum, “Tidak perlu tau, aku hanya ingin tau apakah aku benar-benar melewatkan sesuatu yang sangat penting tentang sahabatku?”
“Ya..ya..kenalkan Nathan, dia Melanie pacar baruku,” ucap Luke seraya mengenalkan Melanie padanya, “Dan oh ya, dia adalah Kelsie, teman pacarku,” sambungnya.
Selesai menjabat tangan Melanie, Nathan menatapku dengan alis terpaut. Dadaku berdesir secara tiba-tiba, “Kau? Bukankah kau yang kemarin pagi mengantarkan kue ke rumahku?”
Aku terdiam.
“Hei, kau gadis yang mengantarkan kue ke rumahku kemarin,kan?” tanyanya serius. Dan aku hanya mengerjapkan mataku.
“Kelsie!” bentak Melanie yang sontak membuat aku terkejut, “Dia sedang berbicara padamu, kau dengar?”
Aku mengangguk, “Ya, aku adalah gadis yang membawa kue dan me-..”
Tiba-tiba aku mendengar Nathan terkikik pelan, “Kau tahu? Ibuku mengatakan kue itu belum dibayar olehnya. Tapi kau menjawab kue itu sudah dibayar oleh ibuku,”
Skakmat. Kebodohan seorang Kelsie Anastasia Hermawan.
Aku tertawa sumbang, “Ya..aku kira kue itu sudah dibayar memang..”
Nathan lagi-lagi tersenyum, lalu secara tiba-tiba ia mengacak rambutku pelan. Wajahku memerah. Jantungku berdetak 3 kali lebih cepat, “Kau lucu,”
Aku lucu?
***
Aku tersenyum-senyum sendiri ketika melihat sebuah kertas foto yang ada di tanganku. Aku sangat beruntung memiliki teman seperti Melanie. Ya, saat kami berada di kantin sekolah tadi Melanie dengan mudahnya merebut kamera polaroidku lalu ia membidikkan kamera itu padaku dan Nathan tanpa kuduga. Ekspresi wajahku saat Melanie mengambil gambar tadi sangatlah tidak pas. Aku terlalu terkejut dan hendak meraih kamera polaroidku dari tangannya. Dan yaa, mulutku terbuka lebar dalam foto itu, sedangkan Nathan ia hanya tersenyum sambil melihat tingkahku yang kelewat batas.
Meskipun ekspresi wajahku dan gaya foto kami yang tidak seperti bagaimana mestinya. Aku tidak akan membuang foto itu sampai kapanpun. Foto pertamaku bersama Nathan.
“Kelsie!” pekik seseorang dibelakangku. Aku sontak menengok dan mendapati Luke sedang berlari kecil untuk menghampiriku.
“Ya? Ada apa?”
Luke terengah, “Datanglah besok ke rumahku. Aku mengadakan pesta untuk hari jadiku dengan Melanie. Melanie lupa untuk memberitahumu kurasa,”
Aku mengangguk terpatah, “Kurasa juga begitu,”jawabku bodoh.
Luke tertawa, “Baiklah, aku akan menyuruh Nathan untuk menjemputmu. Kalian bisa berangkat bersama. Bukankah rumah kalian dekat?”
Aku tertegun, “Apa?! Tidak. Tidak usah aku akan berangkat sendiri,”
“Oh ayolah, “ pinta Luke terdengar memohon.
“Ya..ya baiklah. Terserah kau saja,” jawabku pasrah.
Luke tersenyum lebar, “Ahm, thanks Kels,”
***
“Tumben sekali kau memakai gaun? Aaaa.. kau akan kencan yaa? Kelsie sudah besar rupanya,” ejek Mike sambil mengunyah keripik kentang di tangannya.
“Tidak. Ini pesta. Bukan kencan,” sahutku tegas.
Mike hanya mengangguk-anggukan kepalanya dramatis. Aku segera memakai bandana manik-manik berwarna ungu yang sepadan dengan pakaianku yang berwarna soft purple. Kupakai sepatu balet berwarna ungu pula. Tak lupa kuraih kamera polaroidku dan mengalungkannya di leherku. Akan ada banyak gambar yang tercetak hari ini pasti.
“Kau memakai pakaian serba ungu. Kau seperti terong berjalan, kau tahu?” ejek Mike untuk yang kedua kalinya.
Aku memutar bola mataku jengah lalu meraih botol body lotionku dan melemparkannya pada Mike yang asik berbaring di tempat tidurku dan membuat remah-remah dari keripik kentang di tangannya mengotori seprai tempat tidurku.
“Jangan makan di kamarku, Mikey!”
Mike hanya mengedikkan bahunya dan melanjutkan aksinya untuk membuat kotoran berlebih di tempat tidurku seraya menonton kartun anak-anak favoritnya. Spongebob Squarepants.
Jam sudah menunjukkan pukul 7 malam. Nathan tak kunjung tiba. Pesta dimulai pukul setengah 8. 5 menit,10 menit,15 menit kemudian aku mendengar sebuah bel mobil berbunyi di depan rumahku.
“Baiklah Mikey aku berangkat. Aku sudah meminta izin pada Ibu tadi sore melalui telefon, hati-hatilah di rumah,” pamitku pada Mike dan ia hanya berdehem untuk merespon jawabanku.
Aku sedikit kesulitan untuk berlari karena memakai gaun. Tidak terbiasa tentu saja. Aku segera membuka gerbang rumah lalu menguncinya kembali. Lalu mataku tertuju pada sebuah mobil sport berwarna merah dan...Nathan.
“Maaf terlambat,” sahutnya cepat diiringi dengan senyuman yang mencetak kedua lesung pipi yang manis. Dan yang aku bisa lakukan hanya tertegun seperti orang bodoh.
***
Sepanjang perjalanan kami, Kelsie hanya terdiam begitu pula aku. Dia terlihat cantik dengan gaun berwarna ungu dan pernak-pernik serba ungunya. Oh ayolah Nathan, sampaikan pujian itu langsung padanya.
“Kau cantik malam ini,Kelsie,” ucapku cepat dan kurasa terlalu cepat. Apakah aku gugup?
Kelsie menengadahkan wajahnya menatapku dengan pandangan sulit ditebak, “Kau tak apa, Nat?”
“Apa? Memangnya aku salah memujimu?”
Kelsie terdiam dan dengan segera ia memalingkan wajahnya, kurasa dia malu. Aku tertawa kecil. Entah kenapa sikapnya yang malu-malu itu selalu membuatku gemas. 10 menit kemudian kami tiba di depan rumah Luke. Rumahnya terlihat ramai dan dengan segera Kelsie melompat turun dari mobilku sebelum aku membukakannya dahulu. Apakah dia marah?
Setelah kuparkirkan mobilku, segera aku menyusul Kelsie yang sudah berjalan dulu menuju rumah Luke, “Kelsie!” teriakku padanya dan sontak ia menengok dan menghentikan langkahnya.
“Kau marah padaku?” tanyaku.
Kelsie mengedikkan bahunya lalu menggeleng, “Tidak, untuk apa aku marah?”
“Kau meninggalkanku dulu. Dan kau turun dari mobil sebelum aku membukakannya untukmu,”
Kelsie tertawa, “Memang aku terlihat marah ya? Tidak aku tidak marah. Sudahlah sampai kapan kita berdiri sendiri. Ayo masuk dan temui Luke bersama Melanie,” ajaknya semangat.
Aku menghembuskan nafasku lega.
***
Luke mengundang seluruh siswa seangkatannya di SMA. Termasuk para gadis-gadis pemuja Luke. Luke mengatakan bahwa ia sengaja mengundang mereka agar mereka tahu bahwa Luke sudah memiliki Melanie sekarang. Tapi, masih banyak dari mereka yang menatap Melanie dengan pandangan tidak suka.
Aku, Luke, Kelsie, dan Melanie sedang berkumpul bersama di tengah-tengah ballroom. Kurasa akan ada pesta dansa malam ini. Luke sempat menyuruhku untuk mengajak Kelsie berdansa, tetapi dengan malu-malu Kelsie menolaknya. Dan aku hanya tertawa melihat tingkahnya. Saat kami sedang asyik berbicara bersama, tiba-tiba datanglah segerombolan gadis yang menatap kami dengan pandangan sulit ditebak.
Selanjutnya tanpa diduga salah satu dari gadis itu menyiramkan sirup strawberrynya pada Melanie.
Dan dengan gerakan cepat Kelsie berlari untuk melindungi Melanie dan sirup strawberry itu tumpah membanjiri kepala hingga gaunnya.
“Apa yang kalian lakukan!” bentak Luke pada segerombolan gadis itu. Dan segerombolan gadis itu terkejut karena mereka salah mangsa.
“Pergi! Cepat pergi! Pesta sudah bubar!” tukas Luke tegas. Para undanganpun juga tampak terkejut dengan kejadian yang baru saja terjadi. Merekapun bubar satu persatu.
Aku melihat Kelsie sedang mengibaskan gaunnya yang sedikit basah itu. Rambutnya lengket dan ia hanya bisa mendengus sebal.
“Kelsie, kau tak apa?” pekik Melanie.
Kelsie hanya menganggukkan kepalanya dua kali, “Kurasa aku harus pulang, badanku lengket semua,”
“Aku yang antar!” sahutku cepat.
Kelsie hanya terdiam dan Melanie menyuruhku untuk segera membawa Kelsie pulang.
***
Oh, apakah hari ini hari sialku? Gadis tadi mebuat badanku lengket semua. Dan Nathan menginjakkan pedal gasnya kelewat cepat. Oh ayolah aku baik-baik saja.
“Nathan, pelankan laju mobilmu. Aku tidak segera melahirkan. Kau ini,” pekikku kubuat sesantai mungkin. Demi jenggot Pak Jono guru fisikaku, sebenarnya jantungku berdegup tidak karuan sedari tadi saat kami berada dalam satu mobil.
Nathan memelankan laju mobilnya sedetik kemudian, “Aku tidak mau melihatmu tidak nyaman karena sirup strawberry itu,”ucapnya pelan.
“Sejak kapan kau peduli denganku seperti ini?” tanyaku sarkatis. Mendadak ia mengerem mobilnya dan membuatku terjungkal kedepan.
“Mengapa pertanyaanmu seperti itu? Aku menyukaimu, tentu saja aku peduli denganmu,” jawabnya lantang.
Aku terdiam. 1 detik, 2 detik, 5 detik, 10 detik, lalu aku mendengar Nathan melenguh, “Sebaiknya kita cepat pulang,” lanjutnya.
Sesampainya di depan rumahku dengan segera aku melompat turun dari mobil Nathan. Nathan dengan segera ikut turun dari mobilnya. Cepat masuk ke dalam Kelsie, batinku berteriak.
“Nathan, terimakasih atas tumpanganmu. Aku masuk dulu,” ucapku cepat-cepat dan segera melangkahkan kakiku menjauhi Nathan.
Namun dengan cepat Nathan meraih pergelangan tanganku dan berkata, “Maaf jika terlalu cepat. Yang jelas aku menyukaimu jauh sebelum aku mengenalmu seperti sekarang. Kurasa perasaan tidak boleh untuk ditahan. Jangan tanya kenapa aku berani mengatakannya padamu sekarang. Faktanya aku menyukaimu. Titik.”
Aku menelan ludahku gugup, setelah itu aku merasakan sesuatu yang hangat menempel di punggungku dan sebuah tangan yang memelukku erat dari belakang. Dan hembusan nafas dia atas kepalaku yang lengket. 3 detik berikutnya aku melepaskan pelukan Nathan. Dan tanpa berkata apapun aku segera masuk ke dalam rumah dan meninggalkan Nathan yang terpaku sambil menatapku dari kejauhan.
Benar apa kata Nathan. Semuanya memang terjadi telalu cepat.
***
Mike sedang mengambil air minum di dapur ketika ia melihat adiknya datang dengan pakaian dan rambut yang sudah basah dan berantakkan. Kelsie hanya menyelonong masuk menuju kamarnya tanpa mempedulikan Mike yang termangu kebingungan.
Kelsie menutup pintu kamarnya dan menguncinya rapat-rapat. Dan yang ia lakukan di kamarnya adalah meluapkan emosinya di bawah guyuran air shower hangat dengan gaun yang masih melekat di tubuh mungilnya. Nathan terlalu cepat dan terlalu mendadak. Tapi hati manusia siapa yang bisa menebak?
Mike mengetuk pintu kamar Kelsie berulang kali, namun Kelsie tidak sama sekali menggubrisnya, “Kelsie! Buka pintunya! Apa yang kau lakukan di dalam?! Kenapa kau tiba dengan berantakan? Cepat buka puntunya, Kelsie!” teriak Mike tak sabaran.
“Aku sedang mandi, Mikey. Dan aku baik-baik saja,” sahutnya lantang. Dan Mike hanya menghembuskan nafasnya keras-keras lalu pergi meninggalkan kamar Kelsie.
***
4 hari berikutnya, Melanie tampak kebingungan karena sudah 4 hari Kelsie tidak masuk sekolah. Handphone miliknyapun tidak bisa dihubungi. Melanie sudah berniat pergi ke rumah Kelsie nanti sepulang sekolah. Ia ingin tahu apa penyebab Kelsie tidak masuk sekolah. Terakhir kali ia bertanya pada Nathan dan ia hanya terdiam tidak menjawab pertanyaan Melanie.
Bel sekolah berbunyi nyaring. Semua siswa berhamburan untuk segera pulang. Dan Melanie langsung melangkahkan kakinya untuk segera pergi mencari taksi. Luke sedari tadi melihat kelakuan pacarnya itu yang tampak sibuk sendiri. Luke hendak menawarkan untuk mengantar Melanie pulang. Namun Melanie menolaknya dan tidak memperdulikan keberadaan Luke. Setengah jam kemudian, Melanie tiba di depan rumah Kelsie. Rumahnya tampak sepi tidak seperti biasanya.
Saat Melanie akan menekan tombol bel rumah Kelsie, tiba-tiba pintu gerbang terbuka. Sama-sama terkejutnya mereka berdua hanya saling berpandangan, “Kelsie,” pekik Melanie.
“Apa yang kau lakukan?” sahut Kelsie tertegun.
Melanie hampir menitikkan air matanya melihat reaksi Kelsie. “Kelsie, kemana saja kau selama ini? dan hendak ke mana kau sekarang? Untuk apa kau membawa koper itu?”
Kelsie melenguh lalu ia menunduk, “Maafkan aku, Mel. Maaf jika ini terlalu cepat. Aku harus pergi ke Jepang. Ayahku di pindah tugaskan, dan keluarga kami memutuskan untuk menetap di sana. Mungkin hanya 5 tahun, setelah itu aku kembali lagi ke sini,”
“Kau tidak bisa benar-benar tinggal di sini?” tanya Melanie sedikit bergetar. Air mata sudah menggenang di pelupuk matanya.
Kelsie tersenyum manis, “Tidak, ini semua sudah keputusan keluargaku,”
Tanpa berfikir panjang, Melanie menarik sahabatnya itu dalam pelukannya. Air matanya sudah membanjiri pundak Kelsie. Dan di saat yang bersamaan, Kelsie melihat Nathan berdiri dari kejauhan, memperhatikan ia dengan Melanie. Dan Kelsie sempat melihat ada sebuah bucket bunga di tangannya. Nathan yang awalnya memperhatikan Kelsie, dengan segera ia pergi meninggalkan daerah sekeitar rumah Kelsie.
“Tunggu sebentar di sini,” ucap Kelsie sambil mengendurkan pelukannya pada Melanie. Melanie hanya mengangguk.
Kelsie segera mengikuti Nathan. Sebelum terlambat, ia akan berpamitan pada Nathan sekarang. Ia memanggil Nathan dengan suaranya yang lantang. Nathan sontak menghentikan langkahnya.
“Kelsie, maaf soal beberapa hari yang la-...”
“Sudahlah. Aku sudah melupakannya. Aku ingin mengatakan sesuatu. Aku akan pergi. Ke Jepang,” ucapnya tersendat. Kelsie merasakan lidahnya seolah-olah membeku secara tiba-tiba.
Nathan awalnya terkejut, lalu ia menunduk sedih. Haruskah Kelsie pergi?
“Jangan. Tetaplah di sini. Akankah?” tanya Nathan hati-hati.
Kelsie menggeleng, “Tidak, aku tidak bisa. Yang jelas aku sudah berpamitan padamu. Jaga dirimu baik-baik di sini. Jaga Melanie. Dan ini untukmu,” Kelsie mengeluarkan sebuah amplop berwarna biru lalu ia berikan pada Nathan.
“Apa ini?” tanya Nathan.
“Bukalah jika kau sudah sampai rumah. Aku tidak bisa berlama-lama lagi. Ingat pesanku untuk menjaga Melanie, ya? Aku pergi dulu,” pamit Kelsie, lalu secara tidak terduga Kelsie memeluk Nathan erat, sangat erat. Dan tanpa berfikir panjang Nathan membalas pelukan Kelsie. Ia meletakkan dagunya di atas kepala Kelsie lalu mengecupnya pelan.
Beberapa detik kemudian, Kelsie melepaskan pelukannya lalu segera pergi melangkahkan kakinya menuju mobil yang dikendarai Mike dan sudah siap berangkat menuju Bandara. Kelsie berpamitan dan memeluk sahabatnya itu sekali lagi. Lalu dengan segera ia masuk ke dalam mobil dan dalam hitungan detik mobil itu melesat pergi.
Kelsie yang tampak baik-baik saja sedari tadi, akhirnya pertahanannya runtuh juga. Ia menumpahkan air matanya di dalam mobil. Mike tahu bagaimana perasaan adiknya, ia hanya bisa mencoba menenangkan adik perempuan kesayangannya itu.
***
Sesampainya di rumah, Nathan segera menuju kamarnya. Ia menghempaskan tubuhnya di atas tempat tidurnya dan mengeluarkan sebuah amplop berwarna biru yang ia dapat sebelum Kelsie pergi. Nathan mengeluarkan isi dari amplop tersebut, dan ia mendapati sebuah kertas-kertas yang di hasilkan dari kamera polaroid milik Kelsie dan semua kertas itu mencetak gambar seseorang, yaitu Nathan.
Semua foto di beri tanggal oleh Kelsie, dan foto pertama adalah foto saat Nathan sedang berjalan di koridor sekolah sekitar awal-awal ia duduk di bangku SMA. Nathan hanya bisa melenguh seraya bertanya dalam hati bahwa Kelsie lah yang lebih awal mencintainya.
Di sela-sela kumpulan foto yang dibidik oleh Kelsie terdpat sebuah foto yang menarik hati Nathan. Dan Nathan mengingat betul foto itu di ambil saat Kelsie mengantarkan sebuah kue pesanan ibunya. Dalam foto itu Nathan sedang berbalik membelakangi Kelsie, dan di balik kertas foto itu terdapat sebuah tulisan tangan Kelsie yang rapi.
I was dreamed something.
Something that never happens in my life.
The dream was so right.
I see you with a smile and a dimples on your face.
Did you see me like i see you everyday in my dreams?
Did you miss me like i miss you all the time?
Did you love me like i love you all my life?
If i had the chance to meet you..
I just wanna say that i love you since the first time i saw you.
And i know this feeling is forever.
-5.12.2014-
Kelsie.
Kelsie.
Nathan terdiam, lidahnya kelu seketika. Dan untuk yan pertama kalinya Nathan menitikkan air matanya seraya membisikkan sebuah nama yang benar-benar ia rindukan. Kelsie.
***
PS : 1. Disarankan playlist untuk cerpen ini "Alika - Aku Pergi" cuma buat sekedar backsound aja ya:p
2. Sorry for bad grammar(s),typo(s), etc. Saya disini juga masih belajar:) Thanks for reading, hope you enjoying this story :))
Tidak ada komentar:
Posting Komentar